• KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP AL-AZHAR

Pada awalnya al-Azhar bukanlah sebuah perguruan tinggi atau lembaga pendidikan formal melainkan hanya sebagai masjid yang oleh Kholifah Fathimiyah dijadikan sebagai pusat untuk menyebarkan dakwah mereka. Pada waktu yang sama dibangun pula istana kholifah sebagai tempat untuk mengoordinasi dakwah dan membantu cara-cara penyebarannya. Pada masa intervensi pemerintah sangat besar seperti seorang guru tidak boleh mengajar sebelum mendapat izin kholifah. Karena seorang guru yang mengajar di al-Azhar bisanya diangkat oleh kholifah.[1]

Pada masa ini muncul Ya’qub bi Kalas seorang Mentri Kholifah alAziz Billah ia termasuk ulama’ dakwah fathimiyah yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam membangkitkan pemikiran di Mesir. Ia juga memiliki kelebihan atau prestasi dalam studi fikih aliran Fathimiyah dan telah mengarang beberapa kitab diantaranya  Kitab dalam ilmu fiqih ( kitab fi al fiqhi). Kitab ini mencakup apa yang pernah ia dapat dari al-Muizz lidinillah dan al-Aziz, di dalamnya juga mencakup fikih Ismailiyah.

Ya’qub bin Kalas pernah pula mengajukan kepada Kholifah al-Aziz bahwa Jami’ Al-azhar tidak hanya terbatas untuk mendirikan sholat dan penyebaran dakwah Fathimiah tetapi dijadikan sebagai lembaga pendidikan. Tidak lama kemudian akhirnya muncul pemikiran   tentang studi di Jami Al-azhar  pada akhir masa al Muiz Lidinillah al-Fathimi pada bulan Shofar 365 H/ Oktober 975 M.[2]

Ketika itu duduk sebagai pengajar Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Maghribi di Jami’ al-Azhar. Ia mengajarkan sebuah kitab al-Iqtishor karya ayahnya  sendiri. Kitab ini berisi masalah –masalah fiqih yang berpegang kepada ahlul bait, ini merupakan kelompok studi pertama di Jami’ al-Azhar. Selain Abu Hasan Ali bin Nu’man al-Magribi saudara kandungnya yang bernama Abu Abdillah Muhammad bin Nu’man pada tahun 385 H turut pula membantu mengajarkan ilmu-ilmu ahlu al –Bait.

Selanjutnya menurut Jamaludin Surur, bahwa Al-Azhar telah menduduki posisi untuk membangkitkan kehidupan peradaban Mesir terutama hal-hal yang berkaitan dengan dakwah Fathimiyah sejak masa Kholifah Al-Aziz Billah. Pada masa itu umat manusia mulai bangkit semangatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu munadhoroh dan mengkaji fiqih Syiah, Jami’ AL-Azhar saat itu telah menjadi pusat ilmu pengetahuan dengan membawa misi menyebar luaskan dakwah Fathimiyah sampai dibangunya Jami’ al-Hakim bi Amrillah. Sistem halaqoh-halaqoh yang ada saat itu merupakan dasar tudi al-Azhar.

Setelah Daulah Bani Fathimiyah jatuh ke tangan Sholakhudin Al-Ayubi pada tahun 567 ( 1171 M) maka ia mengambil kebijakan baru untuk menghilangkan aliran Syiah yang telah tumbuh dan berkembang sekian lama terutama melalui sarana al-Azhar untuk digantinya dengan aliran Sunni. Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa holakhudin al-Ayyubi adalah :

  1. Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir seratus tahun yaitu sejak tahun 567 H ( 1171 M) sampai masa Sultan al-Mamluki al-Dzahir pada tahun 665 H (1266 M).
  2. Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar oleh  Amir Edmir dan Sultan Barbes atau Sultan al-Dzohir berbes.
  3. Al-Azhar menjadi pusat studi Islam yang amat penting terutama ketika Kairo menjadi kiblat bagi para ulam’, fuqoha’ dan mahasiswa.[3]            

Hasanain Rabi’ berpendapat bahwa pada abad ke-9 H merupakan masa kejayaan bagi al-Azhar karena pada saat itu al-Azhar menempati tempat tertinggi diantara madrasah-madrsah dan perguruan tinggi yang ada di Kairo. Ketika itu al-Azhar sebagi induk madrasah juga sebagai perguruan tinggi terbesaryang tidak ada rivalnya di mana pun, para ulama’ dari berbagai negara juga juga datang mengunjungi al-Azhar untuk belajar.[4]

Setelah Mesir jatuh di bawah kekuasaan sultan Usmaniyah Turki tahun 923 H/1517 M, Maka lenyaplah kemegahan Mesir dan sepilah kebudayaan dan ilmu pengetahuannya, bahkan juga perusahaannya, karena sultan Turki yang menjadi khalifah juga menarik ulama-ulama’ dan ahli-ahli perusahaan dan memindahkan mereka ke Istambul.

Dengan demikian Mesir dan Al-Azhar menjadi sunyi senyap dan berpindah pusat ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab ke Istambul, ibu kota Turki pada masa itu, perkembangan Ilmu-Ilmu Agama dan bahasa Arab di sana tidak begitu lancar jalannya. Meskipun begitu di Al-Azhar masih ada juga tinggal ulama-ulama yang tidak ditarik oleh sultan Turki, tetapi bukan ulama-ulama besar. Akhirnya mereka menjadi ulama besar juga, tetapi tidak banyak jumlahnya. Demikianlah halnya Al-Azhar di bawah kekuasaan sultan-sultan Turki.[5]

Setelah Muhamad Ali Basya menguasai Mesir tahun 1220 H/ 1805, lalu dibangunkan Al-azhar kembali dan dihidupkan semangat ulama – ulama’ dan pelajar-pelajar yang telah padam, sehingga berkobar-kobar kembali. Ulama-ulama yang terpandai dikirimkanya ke Prancis untuk mempelajari ilmu kedokteran, tehnik, ilmu ketentaraan dan lain-lain.

Akhirnya didirikan sekolah-sekolah kedokteran, sekolah bahasa asing, administrasi dan lain-lain. Pelajar untuk sekolah-sekolah itu diambil dari pelajar-pelajar Al-Azhar.

Demikian kondisi Al-Azhar sejak Muhamad Ali Basya semakin lama semakin maju, serta diadakan perbaikan sedikit demi sedikit sampai sekarang sehingga mengalami perbaikan yang besar.[6]

Memang Al-Azhar terlambat memasukkan perbaikan dan pembaharuan sehausnya dimulai sejak masa Muhammad Ali Basya. Perbaikan Al-Azhar yang hakiki dimulai sejak keluar undang-undang Al-Azhar pada tahun 1911 M. Meskipun begitu Al-Azhar telah berjasa memelihara kitab-kitab lama dan pusaka ilmiyah yang ditinggalkan oleh ulama-ulama’ Islam dahulu kala.

Pada masa Mamalik, kebijakan dan perhatian pemerintah terhadap al-Azhar sangat kondusif untuk pengembangan al-Azhar sebagai sebuah perguruan tinggi. Di antaranya adalah al-Azhar banyak mendapat wakaf dari para sultan dan umara’ tujuannya adalah  untuk membantu dan memelihara kemashuran ilmu pengetahuan di al-Azhar dan untuk kontinuitas al-Azhar sebagai pusat pergerakan ilmu pengetahuan di Mesir dan dunia Islam.

Harta wakaf al-Azhar sampai saat ini masih digunakan untuk membayar gaji para dosen dan karyawannya, pemberian beasiswa kepada para pelajar dan mahasiswa baik untuk warga negara Mesir sendiri, maupun warga negara asing, juga digunakan untuk membiayai pembangunan asrama pelajar dan mahasiswa.

Azyumardi Azra berpendapat, sebagai sebuah perguruan tinggi yang sudah berusia tua, al-Azhar pun mengalami pasang dan surut dalam pekembangannya. Sejak masa dinasti Usmani pamor al-Azhar menurun sehingga menjadi alasan kuat bagi penguasa pembaharu seperti Muhamad Ali untuk campur tangan lebih jauh dalam pembenahan al-Azhar sejak paroan pertama abad ke-19 M. kenyataan inilah menjadi preseden lenyapnya indenpendensi al-Azhar sebagai lembaga akademis, yang pada gilirannya juga mempengaruhi otoritas kewibawaannya, kususnya dalam hubungannya dengan kekuasaan politik, hingnga dewasa ini.[7]

  • PROSES BELAJAR MENGAJAR DI AL-AZHAR

Pada masa Fathimiyah materi pelajaran yang diberikan di al-Azhar di samping tantang  ke- Faathimiyahan juga dipelajari ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah antara lain: Fikih, Hadis, Tafsir, Nahwu, Ilmu Tafsir, Ilmu Qiroat, Ilmu Hadis dan Ilmu kalam. Di antara ulama’ yang turut belajar di al-Azhar pada masa ini adalah:

  1. Hasan ibn Ibrahim, yang lebih dikenal dengan Ibnu Zulaq ( wafat tahun 387 H). Karena kecerdasannya, ia diberi penghargaan untuk menjadi tenaga pengajar di al-Azhar. Di antara karya-karyanya adalah : Kitab Fadloilu Mishr, Kitab Qudhotu Mihsr, Kitab al-‘Uyun al-Daj.
    1. Al- Amir al-Mukhtar ‘izzul Mulk Muhamad bib Abdulloh ( wafat tahun 450 H). Ia seorang pakar dalam bidang politik, administrasi, dan sejarah. Diantara karyanya adalah kitab al-Tarikh al-Kabir, yang dikenal degan Tarikh Mishr.        
    1. Abu Abdillah al-Qudhoi ( wafat tahun 450 H). Diantara karyanya adalah : Manaqib Imam Syafi’i, Kitab al-Mukhtar fi Dzikri al-Khutut, al-Atsar.
    1. Abu Ali Muhamad bin al-Hasan bin al- Haitam, ia ilmuan dalam bidang

Tehnik, filsafat, dan matematika. Ia wafat di Kairo pada tahun 436 H. [8]

Pada masa Mamalik, sistem pembelajaran di al-Azhar adalah para mahasiswa diberikan keebasan memilih mata kuliah yang dipelajari, sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasai oleh masing-masing dosen. Setelah mahasiswa dapat mengusai disiplin ilmu yang diberikan oleh seprang dosen maka ia dipersilahkan untuk memilih dosen lain untuk mempelajari mata kuliah yang berbeda. Bagi mahasiswa yang sudah menyelesaikan kuliahnya kepada seorang dosen, maka ia akan diberi syahadah. Dalam syahadah  tersebut diterangkan nama mahasiswa, nama dosen, madzhab, serta tanggal ijazah dikeluarkan.

Di antara ulama yang bertugas mengajar di al-Azhar pada masa Mamalik adalah :

  1. Ali Ibn Yusuf  Ibn Jarir al-Lakhmi ( wafat tahun 713H/ 1313 M.), sebagai dosen dalam bidang penelitian.
  2. Qiwamudin Al-Kirmani sebagai dosen dalam ilmu fikih dan ilmu qiroat.
  3. Syamsudin al-Ashbani sebagai dosen dalam bidang pemikiran.
  4. Syarifudin al-Zawawi al- Maliki.
  5. Qunbur ibn Abdillah al-Sibziwani, sebagai dosen dalam ilmu- ilmu aqliyah.
  6. Badrudin Muhamad ibn Abi Bakar al-Dimamini, sebagai dosen dalam ilmu nahwu, nujum, dan fikih.[9]

Menurut Hasanin Robi’ bahwa pada abad ke-9 H, merupakan masa gemilang bagi al-Azhar, karena pada saat itu al-Azhar menduduki tempat tertinggi di antar madrasah-madrasah dan jamiah yang ada di Kairo pada saat itu. Ketika itu al-Azhar sebagai induk sekolah dan sebagai Jamiah Islamiyah terbesar. Dan ulama-ulama muslimin dari berbagai negara datang dan belajar di Jami’ al-Azhar.

Diantara ulama’ yang datang ke Mesir saat itu adalah Ibn Khaldun tahun 784 H. dan sempat menuntut ilmu al-Azhar. Ibn Khaldun pernah berkata : jika sekiranya saya punya waktu, saya ingin lebih lama belajar di Jami’Al-Azhar. Pada saat itu ia sempat melakukan kontak dengan para ulama’ Mesir. Dari hasil pertemuan dan kontak tersebut dibangunlah sebuah lembaga pendidikan untuk studi sejarah.

Adapun mahasiswa yang belajar pada lembaga pendidikan ini antara lain :

  1. Imam al-Maqrizi ( wafat tahun 845 H/ 1442 M).
  2. Ibnu Hajar al-Asqalani ( wafat tahun 852 H/ 1448 M).[10]

Syekh Hasan al-Athar adalah di antara ulama’ yang berjasa kepada al- Azhar terutama dengan idenya agar al-Azhar memsukkan atau mengajarkan kuliah filsafat, sastra, geografi, sejarah, dan ilmu-ilmu thob’i, yang sebelumnya dilarang al-Azhar. Idenya yang lain adalah agar setiap permasalahan yang muncul, hendaknya merujuk kepada kitab aslinya, pada tahun 1827 M, ia diangkat sebagai dosen di al-Azhar. Ia adalah orang pertama kali menyerukan agar al-Azhar dapat lebih mengembangkan diri, seiring dengan kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada tahun 1246 H, ia diberi penghormatan untuk menjabat sebagai al-Azhar sampai ia wafat pada tahun 1250 H. Karena jasa-jasa dan idenya terhadap pengembangan al-Azhar, ia dikenal sebagai pelopor pergerakan perbaikan sistem pendidikan al-Azhar.[11]


[1] Suwito (et al) …..hal. 180

[2] Suwito (et al)……hal. 181

[3] Suwito (et al)…..hal. 181-182

[4] Suwito (et al)….hal. 182

[5] Mahmud Yunus “Pendidikan Islam” ( Jakarta: Hidakarya Agung, 1990) hal. 174

[6] Mahmud Yunus……..hal. 174

[7] Azyumardi Azra “ Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju milenium baru” ( Jakarta: Logos, 2000) hal. 243-244

[8] Suwito (et al)….hal. 183

[9] Suwito (et al)….hal. 184

[10] Suwito (et al)….hal 184

[11] Suwito (et al)….hal 185