Dari hasil kajian penulis tentanag paradigma pengembangan pendidikan Islam, ditemukan adanya tiga peta paradigma pengembangan pendidikan agama Islam, yaitu Paradigma Dikotomis, dan Paradigma Mechanism, Paradigma Organism atau Sistemik.[1]

  1. Paradigma Dikotomis

Didalam paradigma ini, semua aspek kehidupan dipandang dengan 2 sisi yang berbeda dan berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan. Dan PAI hanya dipandang sebagai pendidikan yang berkonsentrasi pada bidang agama, ritual dan spritual saja. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya di kembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan agama islam hanya di letakkan pada kehidupan akhirat saja ataupun kehidupan rohani saja.

Pandangan semacam ini akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi. Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam system pendidikan. Pandangan dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan sedangkan masalah dunia di anggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah  (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains  dianggap terpisah dari agama. Demikian pula pendekatan yang di pergunakan lebih bersifat keagamaan yang normative, doktriner dan absolutis.Implikasi dari paradigma ini peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (aktor) dan loyal (setia), memiliki sifat komitmen, dan dedikasi yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normatif dan doktriner tersebut.[2]

  • Paradigma Mekanisme

Paradigma ini memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional dan sebagainya.sebagai impliksinya, pengembangan pendidikan Islam tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari para pembinanya dan sekaligus pimpinan dari lembaga tersebut. Hubungan antara pendidikan agama dengan beberapa matapelajaran dapat bersifat horisontal lateral (Indipendent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertikal linear.

 Aspek-aspek atau nilai keadilan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai social, nilai polotik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestetika, nilai biofisik, dan lain lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainya. Hubungan nilai agama dengan nilai lainya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), interal-sekuensial. Atau bahkan bertikal linier.

Umat islam dididik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata peendidikan agama yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai: (1) pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan (2) penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama. (3) perbaikan kesalahan, kekurangan kesalahan dalam keyakinan,pemahaman dan pengajaran dalam agama. (4) pencegahan hal-hal yang negative dalam lingkunganya atau budaya asing yang berbahaya. (5) sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagyaan dunia akhirat, dan (6) pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagama. Jadi. Pendidikan agama lebih menonjolkan fugsi moral dan spiritual atau dimensi efektif daripada koknitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan Spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainya.

Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang bukan berciri khas agama Islam. Didalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan(mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didukung sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti pendidikan agama tersebut bergantung pada kemauan-kemauan, dan political-will dari para pembinanya dan sekaligus pimpinan darilembaga tersebut, terutama dalam membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaraan (kuliah) lainya. Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata pelajaraan atau mata kuliah lainya dapat bersifat horizontal lateral (independent), lateral sekuensial, atau bahkan vertical linier.[3]

Relasi yang bersifat horizontal lateral (independent) mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama memiliki hubungan yang sederajat yang independent, dan tidak harus saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial, berarti di masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical-linier berarti mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber ilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai-nilai insani yang mempuyai relasi vertical-linier dengan agama.

Fenomena pengembangan ipendidikan Islam di sekolah atau perguruan tinggi unum nampaknya sangat berfariasai. Dalam arti ada yang cukup puas dengan pola horisotal-lateral (independent) ada yang mengembangkan pada relasi lateral-sekuensial, dan ada pula yang erobsesi untuk mengembangkan pola relasi virtikal-linier Semuanya itu lagi-lagi akan banya ditentukan kemauan, kemapuan, dan political-will dari para pendidikan agamaserta pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut.

Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara terpadu di sekolah umum misalnya, antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan sekaligus para guru agamanya mampu memadukan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum. Kebijakan ini akan sulit diplementasikan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang hanya cukup puas dengan pola relasi horizontal-lateral (indepemdent). Barangkali kebijakan tersebut relative mudah diplementasikan pada lembaga pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial. Hanya saja implikasi dan kebijakan tersebut adalah para guru agama harus memahami ilmu umum dan menguasai ilmu agama, sebaliknya guru umum dituntut untuk memahami ilmu agama dan menguasai ilmu umum (bidang keahlianya). Bahkan guru agama dituntut untuk mampu mnyususn buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.

Namun demikian, kadang dirasakan adanya kesulitan, terutama ketika dihadapkan pada dasar pemikiran yang berbeda, sehingga terjadi konflik antara keduanya. Contoh sederhana adalah menyangkut asal usul manusia. Sains yang diajarkan sekolah bertolak dari dasar pemikiran bahwa manusia berasal dari kera. Sementara pendidikan agama tidak demikian. Ilmu ekonomi bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang paling serakah (kapitalisme), sehingga bagaimana seorang yang memiliki modal sedikit, tetapi mampu menghasilkan keuntungan yang lebih besar, yang berbeda halnya dengan pendidikan agama, demikian seterusnya.

Suasana tersebut kadang-kadang menimbulkan ketegangan pada diri peserta didik, terutama jika kedua-duanya (baik pendidikan agama maupun pendidikn Umum) saling memaksakan kebenaran pandanganya .agama memang bertolak dari keimanan sedangkan ilmu pengetahuan bertolak dari keraguan. Dari sini peserta didik diuji pandanganya. Bila pandangan agama mendominasi pemiliranya, mungkin ada kecenderungan bersikap pasif dan statis, sedangkan bila ilmu pengetahuan mendominasi pemikiranya maka ada kecenderungan untuk bersikap split of personality. Jangan-jangn budaya NKK (Nepotisme, Koropsi, dan Kolusi) antara lain sebagai akibat dari pengembangn pendidikan Islam yang menggunakan paradikma mhecanism tersebut, terutama yang menerapkan pola relasi Horisontal-lateral (independent) dan lateral-sekuensial.

Dari berbagai urain diatas dapat disimpulkan Implikasi dari paradigma ini para guru/dosen agama  harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu-ilmu umum, sebaliknya dosen/guru umum dituntut untuk mengeuasai ilmu yang di ampuhnya dan ilmu agama, guru/dosen dituntut untuk mampu menyusun buku-buku teks keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antar keduanya.

  • Paradigma Organism atau Sistemik

Istilah “oeganism” benda hidup (plamts, animals and bacteria are organisms), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit. Dalam pengertian kedua tersebut, paradigma organism bertolak dari pandangan bagwa pendidikan islam adalah kesatuan atau sebuah sistim (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup Islam, yang dimanivestasikan dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup yang Islami.[4]

Dalam konteks pendidikan islam paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.

Melalui upaya semacam itu maka system pendidikan Islam diharap dapat mengitegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup didalam nilai-nilai agama.

Model paradigma tersebut nampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistim pendidikan islam di Madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam. Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu (1) sebagai wahana untuk membina ruh atau praktek hidup keislaman: dan (2) memperjelas dan memperkokoh keberadaan madrasah sederajat dengan system sekolah, sebagai wahana pembinaan warga negara yang cerdas, berpengaruh, berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif dan (3) mampu merespon tuntutan-tuntutan masa depan, dalamarti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi.

Menurut H.A.R. Tilaar, bahwa penelitian, pemiliran, dan gagasan-gagasan dari para ahli yang terpisah-pisah tersebut (horizontal-lateral/independent) dapat berbahaya dalam esistensi kehidupan manusia. Coba kita lihat apa bahaya dari biyo teknologi dengan adanya praktek cloning terhadap binatangyang dewasa ini juga dilaksanakan juga kepada manusia. Meskipun pemerintah Amerika Serikat misaknya telah melarang teknologi cloning terhadap manusia, tetapi hal ini telah merupakan indikasi perlunya kita berhati-hati di dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terlepas dari nilai-nilai agama. Karena itu, kata beliau, Universitas Islam yang direncanakan harus merupakn suatu modal lembaga pendidikan tinggi masa depan karena lembaga tersebut akan mengitegrasikan ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etika yang pada akhirnya merupakan karakteristik dari masyarakat madani era global abad 21.[5] Dari berbagai urain diatas dapat ditegaskan bahwa upaya memotret paradigma pengembangan pendidikan Islam di Indonesia memang amat di perlukan untuk mempertajam pemahaman kita akan keunikan realitas pendidikan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Paradigma tersebut tampaknya mulai dirintis dan dikembangkan dalam sistem pendidikan di madrasah, yang dideklarasikan sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam.


[1] Muhaimin, Pengembangan…, 31-43

[2] Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 39-42

[3] Ibid.

[4] Ibid., 39

[5] H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, (Magelang: Tera Indonesia, 1998), 223